kardianatangkas.blogspot.com/2010_05_01_archive.html



Sabtu, 07 Agustus 2010

Cerpen - 1 Hari 24 Jam



Sendiri, hatiku sebatang kara. Sejak lahir, ku memulai hidup dengan penuh kemiskinan akan kasih sayang. Mereka membekaskan rasa rindu sangat dalam padaku, sekaligus meninggalkanku ke pelukan Nya. Roh samudra merasuk dalam ragaku, seketika diri ini terombang-ambing tak tentu arah. Oh leluhur, tanpamu aku tak akan berdiri dengan dua kaki, tanpamu aku tak akan mampu mengumpulkan semangatku untuk hidup. Aku yakin mereka tak butuh nyanyian, puisi, ataupun tangisan yang hanya sekedar merasakan. Tapi aku berjanji akan selalu mengenang mereka, akan ku ceritakan pada keturunanku suatu saat. Kini sepuluh tahun telah berlalu, aku tinggal bersama wanita tua renta yang selama ini memberikan kasih sayang yang tak sebanding dengan kasih sayang orang tua yang sangat aku butuhkan saat ini. Kedua orang tua pergi meninggalkan sedikit harta dan sejuta kerinduan. Kadang ku mengenang mereka berdua, berlinang air mataku. Kini aku tinggal di daerah pedesaan nan indah. Terdapat secuil kebahagiaan disana, temanku pun tak sedikit. Dan aku tak butuh dikasihani. Tetapi niatku untuk bersekolah tak pernah padam, pagi hari orang-orang telah menungguku untuk membagikan koran. Bermodalkan sepeda bekas leluhurku, aku melewati jalan sempit dan berbatu tak jarang pula aku menemui masalah.



Suatu pagi dikala mentari telah tersenyum “Nek, aku telah selesai membagikan koran, aku mau mandi dulu ya.” Nenenkku tersenyum menatapku, dalam senyumnya terlihat rasa lelah yang mendalam. Aku pun berpamitan dan langsung berangkat ke sekolah. Berasama kedua sahabat karibku, Asep dan Anto. Aku besekolah di kota, dan anak-anak kota yang sekelas denganku tak ada yang sombong, mereka tak kenal kaya atau miskin. Aku bahagia telah memiliki teman-teman seperti mereka.

Aku kelihatannya sama dengan anak lainnya, tetapi aku mempunyai kekurangan pada kesehatan. Itu yang membuat diriku berfikir, apakah hidupku akan cepat berakhir. Tapi itu tak membuatku melanggar janjiku. Di bawah pohon beringin berdaun hijau lebat dekat sekolah aku bersama kedua temanku terduduk lemas, sambil menyantap makan siang. Di bawah pohon beringin itu aku selalu mencurahkan isi hatiku yang akan selalu mendengarkanku, aku berharap pohon itu mengerti apa yang aku katakan.

Bel pun mulai bernyanyi menandakan masuk kelas, Anton mengangkat aku dan Asep“Sep, Di, bel udah bunyi, yuk cpet ke kelas, nanti bu Togir marah lagi!” Dengan langkah malu-malu menuju kelas ku menyusuri lorong. “Sep, Ton, kira-kira dia mau gak noleh trus senyum ama aku?” setiap berjalan melewati lorong, hatiku selalu berdebar-debar. “Ga deh Di, kenal juga enggak, udalah kenapa kamu enggak kenalan aja, apalagi Sinta tu baek lo dan enggak mandang kaya ato miskin?” Mauku seperti itu tetapi tangan yang sudah terlanjur membatu ini tak mampu melaksanakan kuasa hatiku tuk berkenalan dengannya. Aku membidik hatinya bertahun-tahun, sesekali matanya menoleh padaku, seketika kepala ini terasa sangat berat. Senyumnya semanis gula, tak kuasa ku menahan hatiku yang terlanjur malu ini.

Waktu menunjukkan matahari tepat berada di atas, dan bel pun berdentang, mengabulkan harapan setiap siswa untuk kembali ke peraduannya. Tapi hari yang panas ini, telah membakar semangatku untuk bekerja, memanen buah bersisik tajam di kebun peninggalan mereka yang telah mendahuluiku. Baju compang-camping telah menjadi gaunku sehari-hari, beralaskan sandal jepit, bersenjata parang tak lupa keranjang untuk tempatnya. “Nek aku ke kebun dulu ya, nenek hati-hati dirumah, aku sayang nenek”. Nenekku pun menjawab dengan tenang “ Iya jangan pulang malam ya, inget nanti kamu arus cari daun sere untuk mengobati penyakitmu itu”.



Kebun ini adalah kebun peninggalan leluhurku yang terus diwariskan turun-temurun. Satu per satu buah berduri itu memenuhi keranjang bolongku, saatnya untuk kembali. Saat perjalanan pulang, tiba-tiba dadaku terasa terbelah, kepalaku sangat berat, pepohonan terlihat banyak, dan menghalangiku berjalan, tiba-tiba cairan berwarna merah keluar dari dalam mulutku sesaat setelah aku terbatuk. Beralaskan tanah diri ini terbaring lemas, terbesit dalam benakku inikah hariku, secepat inikah. Kelopak mataku mulai menguncup, tiba-tiba ada seseorang menggotongku sambil membawa arit di bokongnya, aku tertidur tapi sadar, mataku terbuka sedikit.

Ku lihat padi yang menari-nari, bermusikkan angin yang berhembus merdu, burung-burung beterbangan mewarnai langit yang biru itu. Terlihat belasan kebau, puluhan bebek berbaris rapi menuju peristirahatannya. Mentari telah kembali ke peraduannya, mengucap selamat tinggal, dengan meninggalkan kehangatan di setiap insan. Orang itu lalu membuka pintu, aku rasa pintu ini tak asing. Ya pintu ini adalah pintu rumahku, aku langsung dibawa ke tempat tidur. Nenekku histeris, “Ada apa ini Sim, kenapa cucuku ini?” ternyata orang itu adalah pak Kosim tetanggaku. Dia pun menjawab dengan ketakutan “ Cucu anda tadi terjatuh dan bersimbah darah di mulutnya, jadi saya melihat dan menonlongnya”. Setelah lama pak Kosim pun kembali ke rumahnya.

Nenekku menangis sambil mencium keningku “Oh cucuku, jangan tinggalkan nenek, hanya kamu yang nenek punya” Seketika mataku terbelalak dan menghela nafas panjang “Nek, Ardi sayang nenek” Nenekku mengumbar senyum gembira padaku, langsung membuatkanku obat untuk menahan penyakitku itu, tetapi obat itu tak menghentikan penyakit. Aku tak berdaya menghadapinya selain mengingat selalu janjiku pada leluhurku. Dinginnya malam telah menyelemutiku dan merasuk dalam mimpi-mimpiku. Terdengar di telingaku “Kemarilah nak, kemarilah nak, Aku tak akan menyakitimu, ayolah biarkan nenekmu menghabiskan sisa hidupnya sendirian”

Pagi hari yang dingin telah mencubit kulitku untuk terbangun, ternyata suara itu yang kudengar hanya mimpi. Ku lihat nenekku tertidur pulas. Terlihat dahinya bergaris tebal, kulitnya tak kuat lagi menahan terjangan dunia ini, rambutnya yang putih itu, tak kuasa hatiku meneteskan air mata melewati pipi, ku elus rambutnya, kucium keningnya. Tak ada seorang pun yang dapat menggantukannya di hatiku. Pagi hari ini berbeda, kabut membutakan mataku. Diriku sudah merasa sehat. Tanpa pamit dengan semangat aku menggoyang pinggul sambil mengayuh menuju pengepul koran. Orang-orang sudah tak sabar menungguku melemparkan kumpulan kertas beririsi kumpulan cerita manusia yang mempunyai bermacam sifat itu.

Kabut putih nan tebal, tak bisa menghadangku. Semangatku tak akan terpadamkan oleh sekumpulan kabut yang berbaris rapat itu. Hatiku sudah bulat menuju kota dan membagikan koran ini. Dijalanan nan sepi, siulan angin menggetarkan telingkau mengangkat bulu-buluku, memandang ke atas penuh bintang bertaburan, bintang berkelip-kelip seakan mereka mengedipkan mata padaku. Sambil menyebrang jalanan besar ku menoleh ke atas, cahaya mengganggu pandanganku, datang bagai panah terbidik cepat. Ternyata itu “Tolong.. Tolong..!”

Kuda besi, berwarna merah menyala telah menyerudukku, seketika orang itu langsung melarikan diri. Hidung dan mulutku bagai gunung yang tak hentinya menghembuskan cairan berwarna merah itu. Terbaring lemas diriku di pelukan bumi berselimutkan udara dingin. Tetes demi tetes mataku mengeluarkan air menatap langit, hatiku teringat nenek, Anton, Asep, pujaan hatiku, semua yang menyayangiku. Terasa tenang jiwa ini, mengenang Mereka yang telah mendahuluiku. Inikah arti mimpiku, sehari rasanya ku berada di sini, di tempat penuh kerinduan ini. Mataku sudah tak kuasa menahan rasa sakit ini. Tak ku sangka 1 hari tepat 24 jam sejak aku mengingat rasa rinduku pada Mereka. 1 hari tepat 24 jam juga mata ini terakhir melihat betapa manisnya senyum mentari. Janjiku terpenuhi 1 hari. Tepat. 24 jam. Oh leluhurku, terimalah aku dalam istana megahmu.

"The Little"

4 komentar:

Kardiana mengatakan...

Duh kasian banget anak ini...

Unknown mengatakan...

Ha.. yang kasihan neneknya tw..

Anonim mengatakan...

weee masuk wiyata mandala cerpennya...
wayh timpale puk!!
hhe

"Little Swumpink" mengatakan...

hahahaha,, keren kan..
gus nget follow gus..